Resensi: Menuju Keberagamaan Profetik
[Jp Online, Minggu, 11 Januari 2009]
Salah satu imbas dari merekahnya reformasi pertengahan 1998 adalah hidupnya demokrasi yang memberi ruang kepada agama untuk berperan secara lebih leluasa. Dalam rentang waktu itu pula peran agama selalu mengundang kontroversi karena beragamnya perspektif, interpretasi, dan ekspektasi dari pemeluknya saat memasuki ruang publik. Pada satu sisi, terdapat ''mazhab'' yang menganjurkan sentralitas peran agama di tengah-tengah ruang publik (teokrasi); tetapi pada sisi lain ada yang menghendaki sublimasi agama ke wilayah privat (sekular).
Secara substantif, polarisasi dua kutub aliran itu bermuara pada keharusan agama tetap keep updated dengan etos kehidupan publik serta mempertahankan relevansinya di ranah publik. Dari sinilah muncul tuntutan agar agama mampu bersenyawa dengan fitur-fitur demokrasi seperti good governance, hak asasi manusia (HAM), ketertiban sipil, dan ketaatan hukum. Pertanyaan selanjutnya, seberapa jauh agama bisa dan diperbolehkan memainkan perannya di ruang publik?
Buku Islam Profetik, Substansiasi Nilai-nilai Agama dalam Ruang Publik karya Masdar Hilmy ini berusaha mengurai masalah itu dengan ''agak'' tuntas. Buku ini terbagi dalam empat bagian dengan bahasan yang cukup menohok pola keberagamaan Indonesia kontemporer. Bagian pertama berisi tentang berbagai fenomena kehidupan yang makin menjauh dari pesan profetik agama, serta bagaimana ''santri'' menafsir makna zaman pada bagian kedua. Sedangkan bagian ketiga membahas kesalehan sosial masyarakat multikultural, dan ditutup dengan bahasan ruang publik yang tidak privat.
Melihat beragam bahasannya, buku ini bisa dikatakan sebagai salah satu upaya menempatkan teks suci tidak berhenti pada kodratnya sebagai teks saja. Lebih daripada itu, teks harus dijadikan sebagai kekuatan substansial yang mendorong perubahan di ranah publik. Upaya imperatif ini penting dilakukan karena tidak sedikit kenyataan sosial yang menunjukkan adanya paradoks keagamaan, seperti maraknya korupsi yang dilakukan orang yang justru dikenal ''agamis''. Padahal dalam tataran normatif, agama selalu mengandaikan kehadiran unsur-unsur Ilahi dalam setiap tingkah laku manusia sebagai konsekuensi ke-Maha Hadir-an Tuhan.
Dalam perspektif demokrasi, upaya penghadiran Tuhan ke ruang publik ini harus dilihat sebagai kenyataan empiris-historis yang tidak bisa dimatikan. Meski demikian, tentu ada koridor rule of game yang harus terumuskan secara memuaskan bagi semua pihak tanpa imbas ''membungkam'' ekspresi golongan lain. Agama bisa diterima sepanjang yang dihadirkan adalah dimensi spiritual-etik-moral yang membantu kehidupan dalam menangani berbagai persoalan kemanusiaan, bukan dimensi legal formal yang jauh hari menjadi pangkal perdebatan tanpa ujung.
Bagi umat muslim yang mayoritas di negeri ini, Masdar menyatakan bahwa ''cermin besar'' keteladanan itu sesungguhnya bisa dilacak dalam diri Nabi Muhammad Saw dalam segala aspek kehidupannya. Dosen Pascasrajana IAIN Sunan Ampel Surabaya ini menekankan, pemaknaan terhadap keteladanan itu tidak boleh dilakukan secara harfiah dan sepotong-potong, tetapi harus elastis, komprehensif, substansial, dan kontekstual. Yang diambil dari pribadi Nabi adalah dimensi keteladanan profetiknya yang berupa hikmah, kearifan, pesan, dan pelajaran hidup; bukan sekadar physical performance yang artifisial dan karikatif.
Kesadaran profetik ini penting karena fenomena kehidupan kekinian terlihat makin menjauh dari semangat kenabian, dengan maraknya kekerasan, terorisme, kriminilitas, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dan ketertindasan, keangkuhan, pemberhalaan duniawi, dan semacamnya. Sedangkan Islam profetik mempunyai misi membebaskan umat manusia dari segala bentuk belenggu kemanusiaan tersebut, serta mengajak mereka melakukan perubahan menuju kurva positif.
Untuk memunculkan kesadaran profetik setidaknya ada dua jalan yang mesti ditempuh. Yaitu membebaskan agama dan mengkonstruksinya menjadi agama yang membebaskan. Langkah pertama meniscayakan pembacaan agama yang selaras dengan misi dan kepentingan umat manusia secara keseluruhan, serta pembacaan harus dibentuk oleh pengalaman dan aspirasi umat manusia secara keseluruhan. Artinya, pembacaan agama yang bersifat teosentris (manusia untuk agama) harus diubah menjadi antroposentris (agama untuk manusia).
Pembebasan umat dari kungkungan teks-teks yang membelenggu aspek kemanusiaan inilah secara otomatis melahirkan agama yang membebaskan. Dalam tahap ini ada proses transformasi, pemindahan, atau perubahan dari kondisi yang tidak diinginkan menuju kondisi yang diinginkan. Pesan ini selaras dengan perjalanan Nabi Muhammad Saw yang semasa hidupnya setidaknya melakukan tiga pembebasan besar bagi umat dan masyarakatnya dalam bidang sosio-kultural, ekonomi, serta penyikapan terhadap agama yang berlainan.
Dalam konteks penghadiran agama yang selaras dengan nilai-nilai substansial inilah, buku ini hadir. Buku ini menawarkan metode pembacaan teks yang membebaskan di tengah hegemoni pembacaan teks yang buta konteks. Terlepas dari kemiskinan koherensi antartulisan yang juga diakui Masdar dalam kata pengantarnya, buku ini patut dihargai karena muncul pada saat yang tepat ketika bentuk-bentuk formal keagamaan dijadikan alasan untuk melakukan kekerasan. (*)
*) Muh Kholid A.S., alumnus Pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo, aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Salam Persahabatan
ParaDIsE.group
[Jp Online, Minggu, 11 Januari 2009]
Salah satu imbas dari merekahnya reformasi pertengahan 1998 adalah hidupnya demokrasi yang memberi ruang kepada agama untuk berperan secara lebih leluasa. Dalam rentang waktu itu pula peran agama selalu mengundang kontroversi karena beragamnya perspektif, interpretasi, dan ekspektasi dari pemeluknya saat memasuki ruang publik. Pada satu sisi, terdapat ''mazhab'' yang menganjurkan sentralitas peran agama di tengah-tengah ruang publik (teokrasi); tetapi pada sisi lain ada yang menghendaki sublimasi agama ke wilayah privat (sekular).
Secara substantif, polarisasi dua kutub aliran itu bermuara pada keharusan agama tetap keep updated dengan etos kehidupan publik serta mempertahankan relevansinya di ranah publik. Dari sinilah muncul tuntutan agar agama mampu bersenyawa dengan fitur-fitur demokrasi seperti good governance, hak asasi manusia (HAM), ketertiban sipil, dan ketaatan hukum. Pertanyaan selanjutnya, seberapa jauh agama bisa dan diperbolehkan memainkan perannya di ruang publik?
Buku Islam Profetik, Substansiasi Nilai-nilai Agama dalam Ruang Publik karya Masdar Hilmy ini berusaha mengurai masalah itu dengan ''agak'' tuntas. Buku ini terbagi dalam empat bagian dengan bahasan yang cukup menohok pola keberagamaan Indonesia kontemporer. Bagian pertama berisi tentang berbagai fenomena kehidupan yang makin menjauh dari pesan profetik agama, serta bagaimana ''santri'' menafsir makna zaman pada bagian kedua. Sedangkan bagian ketiga membahas kesalehan sosial masyarakat multikultural, dan ditutup dengan bahasan ruang publik yang tidak privat.
Melihat beragam bahasannya, buku ini bisa dikatakan sebagai salah satu upaya menempatkan teks suci tidak berhenti pada kodratnya sebagai teks saja. Lebih daripada itu, teks harus dijadikan sebagai kekuatan substansial yang mendorong perubahan di ranah publik. Upaya imperatif ini penting dilakukan karena tidak sedikit kenyataan sosial yang menunjukkan adanya paradoks keagamaan, seperti maraknya korupsi yang dilakukan orang yang justru dikenal ''agamis''. Padahal dalam tataran normatif, agama selalu mengandaikan kehadiran unsur-unsur Ilahi dalam setiap tingkah laku manusia sebagai konsekuensi ke-Maha Hadir-an Tuhan.
Dalam perspektif demokrasi, upaya penghadiran Tuhan ke ruang publik ini harus dilihat sebagai kenyataan empiris-historis yang tidak bisa dimatikan. Meski demikian, tentu ada koridor rule of game yang harus terumuskan secara memuaskan bagi semua pihak tanpa imbas ''membungkam'' ekspresi golongan lain. Agama bisa diterima sepanjang yang dihadirkan adalah dimensi spiritual-etik-moral yang membantu kehidupan dalam menangani berbagai persoalan kemanusiaan, bukan dimensi legal formal yang jauh hari menjadi pangkal perdebatan tanpa ujung.
Bagi umat muslim yang mayoritas di negeri ini, Masdar menyatakan bahwa ''cermin besar'' keteladanan itu sesungguhnya bisa dilacak dalam diri Nabi Muhammad Saw dalam segala aspek kehidupannya. Dosen Pascasrajana IAIN Sunan Ampel Surabaya ini menekankan, pemaknaan terhadap keteladanan itu tidak boleh dilakukan secara harfiah dan sepotong-potong, tetapi harus elastis, komprehensif, substansial, dan kontekstual. Yang diambil dari pribadi Nabi adalah dimensi keteladanan profetiknya yang berupa hikmah, kearifan, pesan, dan pelajaran hidup; bukan sekadar physical performance yang artifisial dan karikatif.
Kesadaran profetik ini penting karena fenomena kehidupan kekinian terlihat makin menjauh dari semangat kenabian, dengan maraknya kekerasan, terorisme, kriminilitas, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dan ketertindasan, keangkuhan, pemberhalaan duniawi, dan semacamnya. Sedangkan Islam profetik mempunyai misi membebaskan umat manusia dari segala bentuk belenggu kemanusiaan tersebut, serta mengajak mereka melakukan perubahan menuju kurva positif.
Untuk memunculkan kesadaran profetik setidaknya ada dua jalan yang mesti ditempuh. Yaitu membebaskan agama dan mengkonstruksinya menjadi agama yang membebaskan. Langkah pertama meniscayakan pembacaan agama yang selaras dengan misi dan kepentingan umat manusia secara keseluruhan, serta pembacaan harus dibentuk oleh pengalaman dan aspirasi umat manusia secara keseluruhan. Artinya, pembacaan agama yang bersifat teosentris (manusia untuk agama) harus diubah menjadi antroposentris (agama untuk manusia).
Pembebasan umat dari kungkungan teks-teks yang membelenggu aspek kemanusiaan inilah secara otomatis melahirkan agama yang membebaskan. Dalam tahap ini ada proses transformasi, pemindahan, atau perubahan dari kondisi yang tidak diinginkan menuju kondisi yang diinginkan. Pesan ini selaras dengan perjalanan Nabi Muhammad Saw yang semasa hidupnya setidaknya melakukan tiga pembebasan besar bagi umat dan masyarakatnya dalam bidang sosio-kultural, ekonomi, serta penyikapan terhadap agama yang berlainan.
Dalam konteks penghadiran agama yang selaras dengan nilai-nilai substansial inilah, buku ini hadir. Buku ini menawarkan metode pembacaan teks yang membebaskan di tengah hegemoni pembacaan teks yang buta konteks. Terlepas dari kemiskinan koherensi antartulisan yang juga diakui Masdar dalam kata pengantarnya, buku ini patut dihargai karena muncul pada saat yang tepat ketika bentuk-bentuk formal keagamaan dijadikan alasan untuk melakukan kekerasan. (*)
*) Muh Kholid A.S., alumnus Pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo, aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
ParaDIsE.group
Islam Profetik,
Keberagaman,
Pluralitas
20.30
0 Responses to "Menuju Keberagamaan Profetik"
Posting Komentar