[JP Online, Minggu, 15 Februari 2009]
Memahami Sabda Pandhita Ratu
''Buat apa sebuahTahta dan menjadi Raja apabila tidak memberi manfaat bagi masyarakat''
Sri Sultan Hamengku Buwono IX, 7 Maret 1969)
Tidak banyak yang tahu kalau keputusan Sultan Hamengku Buwono X bakal maju menjadi calon presiden (capres) pada pilpres 2009 bukan semata-mata atas keinginan ''nafsu'' politiknya semata. Lewat pertemuan akbar dengan rakyatnya atau pisowanan ageng pada 28 Oktober 2008, bertepatan Hari Sumpah Pemuda, Sultan dengan lantang menegaskan, ''Dengan memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dengan niat yang tulus memenuhi panggilan pada Ibu Pertiwi, dengan ini saya menyatakan siap maju menjadi calon presiden 2009.''
Sejak itu, dan hingga hari ini, peta politik Tanah Air berubah drastis dan kian hari kian memanas. Bagaimana tidak, sebagian kalangan sebelumnya tidak begitu memperhitungkan Sultan bakal berani dan ''nekat'' maju menjadi capres, sebab ia sendiri sedang mengurusi rakyat Jogja di singgasana keratonnya. Sebagian lain berpendapat, wacana Sultan akan maju ke bursa pencalonan presiden sesungguhnya sudah tercium pada saat dirinya menyatakan tidak lagi bersedia menjadi gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ) pada 2007.
Dari sana, muncullah spekulasi di balik sikap Sultan dalam memperlakukan kekuasaan dan berpolitik. Pertama, dengan tidak menolak menjadi gubernur pada periode berikutnya, selain karena alasan telah menjabat dua kali periode, Sultan seolah hendak memberikan pelajaran demokrasi kepada rakyat Jogja dan masyarakat luas pada umumnya. Padahal, oleh pemerintah pusat, Jogja dilabeli ''daerah istimewa'' yang tidak mempersoalkan manakala masyarakat setempat menghendaki Sultan sebagai raja sekaligus gubernur.
Kedua, ada anggapan bahwa majunya Sultan ke bursa capres merupakan kritik praksisnya terhadap pemerintahan pascareformasi, yang tak juga berhasil menyejahterakan rakyat. Realitas kemiskinan, pengganguran, konflik antarindividu maupun kelompok, dan lain-lain, mengetuk sekaligus membuka hati Sultan untuk ikut andil secara langsung mengurusi rakyat Indonesia. Pemerintahan saat ini, menurut penilaian Sultan, gagal menjalankan amanah rakyat sehingga berada di titik nadir kemelaratan.
Ketiga, deklarasi Sultan yang menyatakan siap berlaga dalam kompetisi capres 2009 adalah bentuk penyaluran hak politiknya sebagai warga negara, walau risiko yang ditanggung amatlah besar. Sultan rela meninggalkan tahta kerajaannya demi --apa yang ia yakini-- kepentingan rakyat. Bahkan, Sultan ikhlas mencopot gelar wong agung-nya (seperti) seratus tahun lalu, jika memang harus luntur dengan sendirinya lantaran ia terjun ke dunia politik.
Pada pijakan ketiga poin itulah, buku ini berbicara sangat kompleks menyangkut seluk-beluk kehidupan dan perjuangan Sultan menuju gerbang istana negara. Arwan Tuti Artha, penulisnya, mengangkat persoalan ke-Sultan-an lewat perspektif budaya Jawa (baca: Kejawen), semacam ''ilmu batin''. Perspektif model ini, tampaknya sangat baik dan bagus untuk mengetahui tujuan yang sebenarnya dari apa yang dilakukan Sultan dalam tindak-laku perbuatan maupun ucapannya. Hal itu jelas jauh berbeda manakala strategi analisis yang digunakan dengan pendekatan akademis yang cenderung kaku dan kering dari realitas yang senyatanya.
Arwan tiada henti selalu mengingatkan bahwa segala tindak-tanduk dan ucapan Sultan adalah cerminan kawula (rakyat) untuk gusti (raja). Seorang raja, karena menjadi pusat kekuasaan, maka rakyat hanya akan mendengar apa yang disabdakan, baik itu perintah, larangan atau pernyataan. Oleh sebab itu, di kerajaan Jawa tak ada hukum, kecuali kata-kata keramat raja yang dikenal sebagai sabda pandhita ratu. Apa yang sudah diucapkan seorang raja merupakan keputusan final yang tidak bisa ditarik kembali. Keputusan final seorang raja itu ora wolak-walik sepisan mungkasi. Artinya, sekali tidak perlu diulangi karena sudah melalui pertimbangan panjang, cermat dengan penuh kesabaran (hlm. 81).
Apalagi, apa yang dikatakan seorang raja itu ibarat sabda, memiliki kekuatan magis dan kekuatan mistis. Artinya, kata-kata seorang raja bukan semata-mata milik raja saja, melainkan kata-kata yang sudah disempurnakan dengan kekuatan kosmik dan sudah meresap ke dalam perasaan dan pikiran raja bersangkutan. Boleh jadi, apa yang bakal terjadi nanti, sebenarnya telah diperhitungkan matang-matang oleh Sultan.
Lantas, apakah ada jaminan Sultan benar-benar bisa menjadi presiden RI berikutnya? Apakah ia akan dicalonkan dari partai besar yang sampai saat ini masih menaunginya? Buku ini tidak berbicara kemungkinan-kemungkinan politis itu. Yang amat ditekankan dalam buku setebal 174 ini adalah niat tulus Sultan untuk memperbaiki bangsa. Keputusan itu bukan merupakan manuver politik, tetapi sesuai dengan panggilan hati dan jiwanya. Sultan tidak akan main-main dengan ucapannya, bahkan dalam mengurus negeri ini. Itulah yang dia ucapkan, ''Sekali lagi saya ingin mengabdi, bukan merecoki negeri" (hlm. 111).
Tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi niat Sultan untuk maju sebagai capres. Ini adalah konsekuensi logis dari sabda pandhita ratu. Tidak heran Sultan terlihat ''menghindar'' ketika ada kabar bahwa dirinya akan dilamar menjadi cawapres mendampingi capres Megawati yang diusung PDI Perjuangan baru-baru ini. Sultan masih memegang teguh sabda pandhita ratu itu, sebagai capres bukan cawapres. Tapi entah di kemudian hari...
Sultan percaya bahwa dirinya saat ini sedang ditunggu-tunggu masyarakat luas, terutama masyarakat Jawa untuk memimpin bangsa ini. Sebab, dalam tradisi Jawa, untuk mewujudkan bangsa yang sejahtera, diyakini ada satria pinilih yang tampil. Dialah orang yang sebelum waktunya keluar masih disimpan atau dipingit. Orang Jawa selalu berharap hadirnya satria piningit untuk memegang tampuk pimpinan. Mungkinkah? Kita lihat saja nanti. Sebentar lagi. (*)
*) Lailiyatis Sa'adah, guru PAUD di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, dan pengelola Taman Baca AIDA di Jember
Judul Buku : Laku Spiritual Sultan: Langkah Raja Jawa Menuju Istana
Penulis : Arwan Tuti Artha
Penerbit : Galangpress, Jogjakarta
Cetakan : I, Januari 2009
Tebal : 174 halaman
***
[JP Online, Minggu, 15 Februari 2009]
Pidato-Pidato Inspirasi Dunia
---
Itulah cuplikan pidato Nelson Mandela yang amat inspiratif sebagai pemimpin besar bangsa kulit hitam pengubah sejarah Afrika. Pidato Mandela itu dikumandangkan di Johannesburg pada 2 Mei 1994. Isi pidato tersebut memberi semangat dan dorongan moral bagi rakyat kulit hitam Afrika Selatan yang beberapa saat kemudian terbebas dari politik Apartheid. Politik Apartheid adalah politik yang membeda-bedakan orang kulit hitam dan orang kulit putih. Kala itu masih banyak negara di Afrika yang dijajah negara lain.
Mandela adalah pemimpin Afrika Selatan yang amat gigih menentang politik rasialis itu. Ia rela dipenjara rezim kulit putih selama 27 tahun sebelum kemudian bebas dan terpilih menjadi presiden kulit hitam pertama di negaranya.
Selain Mandela, masih banyak tokoh dunia yang mempunyai pidato yang dapat memberi inspirasi. Bahkan pidato-pidato Soekarno, Bung Tomo, dan Jenderal Soedirman dinilai pidato-pidato yang sangat hebat.
Di buku ini, selain isi pidato yang ditonjolkan, riwayat hidup singkat para pemimpin hebat tersebut juga disertakan. Tokoh lain yang dijadikan contoh, di antaranya, Adolf Hitler, Martin Luther King Jr , Franklin D. Roosevelt, George W. Bush, bahkan Nabi Musa dan Nabi Muhammad SAW juga ditulis khutbahnya. Tahun dan bulan pidato tersebut tidak lupa dicantumkan, sehingga pembaca bisa mengetahui kapan pidato tersebut dilakukan.
Yang perlu dicatat dari isi pidato tokoh-tokoh besar yang dihimpun dalam buku ini, sebagian besar menyangkut perjuangan untuk merdeka. Juga perjuangan antidiskriminasi.
Menurut saya, buku setebal 245 halaman ini sangat menarik. Sebab isinya penuh inspirasi dari pidato-pidato yang diucapkan tokoh-tokoh berpengaruh dari berbagai penjuru dunia.
Tetapi, dari semua pidato yang ditulis di buku ini, menurut saya, pidato terbaik diucapkan Martin Luther King Jr. Pidato itu disampaikan di Memphis, Tennessee, pada 3 April 1968. Isinya: ''Saya sudah melihat tanah yang dijanjikan. Saya mungkin tidak berada di sana bersama Anda. Tetapi saya ingin Anda mengetahui malam ini bahwa kita, sebagai suatu kaum, akan memperoleh tanah yang dijanjikan. Dan saya gembira malam ini. Saya tidak lagi risau tentang apa pun. Saya tidak takut kepada siapa pun. Mata saya sudah melihat kebesaran datangnya Tuhan.''
Pidato Martin Luther King Jr itu amat fenomenal karena menginspirasi dan mempengaruhi dunia untuk memerangi diskriminasi, terutama dalam politik perbedaan warna kulit di Amerika Serikat. Pidato Luther King Jr itu yang sangat mungkin menginspirasi perjuangan Barack Obama saat menapaki tangga menuju kursi presiden AS. Obama akhirnya terpilih menjadi presiden kulit hitam pertama di negara adikuasa itu.
Selain Martin Luther king Jr, pidato John F. Kennedy juga penuh inspirasi. Pidato tersebut antara lain berbunyi: ''Oleh sebab itu, para warga Amerika sekalian, jangan tanya apa yang bisa dilakukan negaramu untukmu; tanyalah apa yang bisa kau lakukan untuk negaramu. Kepada para warga dunia, jangan tanya apa yang bisa diperbuat Amerika untuk Anda, tapi apa yang bisa kita kerjakan bersama demi kebebasan manusia.''
Buku ini juga menarik karena dilengkapi riwayat hidup para tokoh pengubah dunia tersebut. Tetapi, menurut saya, ada sedikit kelemahannya. Yaitu sedikitnya gambar yang dimasukkan di dalam buku ini sebagai bukti pidato tersebut, sehingga pembaca bisa cepat bosan karena tulisannya lebih mendominasi. Padahal buku ini ukurannya lebih lebar dari ukuran kebanyakan. Ketika saya membelinya, saya kira buku ini dilengkapi gambar-gambar ilustrasi yang seharusnya bisa membuat buku ini jadi lebih baik.(*)
*) REZA AKBAR F., siswa Sekolah Ciputra Surabaya, peminat buku biografi tokoh dunia
Judul Buku : Pidato-pidato yang Mengubah Dunia
Editor : Daniel P. Purba SSos dan Yati Sumiarti SE
Penerbit : Esensi Jakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : 245 halaman
Happy Blogging, Love You Without Wax
ParaDIsE.group Indonesia
Memahami Sabda Pandhita Ratu
''Buat apa sebuahTahta dan menjadi Raja apabila tidak memberi manfaat bagi masyarakat''
Sri Sultan Hamengku Buwono IX, 7 Maret 1969)
Tidak banyak yang tahu kalau keputusan Sultan Hamengku Buwono X bakal maju menjadi calon presiden (capres) pada pilpres 2009 bukan semata-mata atas keinginan ''nafsu'' politiknya semata. Lewat pertemuan akbar dengan rakyatnya atau pisowanan ageng pada 28 Oktober 2008, bertepatan Hari Sumpah Pemuda, Sultan dengan lantang menegaskan, ''Dengan memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dengan niat yang tulus memenuhi panggilan pada Ibu Pertiwi, dengan ini saya menyatakan siap maju menjadi calon presiden 2009.''
Sejak itu, dan hingga hari ini, peta politik Tanah Air berubah drastis dan kian hari kian memanas. Bagaimana tidak, sebagian kalangan sebelumnya tidak begitu memperhitungkan Sultan bakal berani dan ''nekat'' maju menjadi capres, sebab ia sendiri sedang mengurusi rakyat Jogja di singgasana keratonnya. Sebagian lain berpendapat, wacana Sultan akan maju ke bursa pencalonan presiden sesungguhnya sudah tercium pada saat dirinya menyatakan tidak lagi bersedia menjadi gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ) pada 2007.
Dari sana, muncullah spekulasi di balik sikap Sultan dalam memperlakukan kekuasaan dan berpolitik. Pertama, dengan tidak menolak menjadi gubernur pada periode berikutnya, selain karena alasan telah menjabat dua kali periode, Sultan seolah hendak memberikan pelajaran demokrasi kepada rakyat Jogja dan masyarakat luas pada umumnya. Padahal, oleh pemerintah pusat, Jogja dilabeli ''daerah istimewa'' yang tidak mempersoalkan manakala masyarakat setempat menghendaki Sultan sebagai raja sekaligus gubernur.
Kedua, ada anggapan bahwa majunya Sultan ke bursa capres merupakan kritik praksisnya terhadap pemerintahan pascareformasi, yang tak juga berhasil menyejahterakan rakyat. Realitas kemiskinan, pengganguran, konflik antarindividu maupun kelompok, dan lain-lain, mengetuk sekaligus membuka hati Sultan untuk ikut andil secara langsung mengurusi rakyat Indonesia. Pemerintahan saat ini, menurut penilaian Sultan, gagal menjalankan amanah rakyat sehingga berada di titik nadir kemelaratan.
Ketiga, deklarasi Sultan yang menyatakan siap berlaga dalam kompetisi capres 2009 adalah bentuk penyaluran hak politiknya sebagai warga negara, walau risiko yang ditanggung amatlah besar. Sultan rela meninggalkan tahta kerajaannya demi --apa yang ia yakini-- kepentingan rakyat. Bahkan, Sultan ikhlas mencopot gelar wong agung-nya (seperti) seratus tahun lalu, jika memang harus luntur dengan sendirinya lantaran ia terjun ke dunia politik.
Pada pijakan ketiga poin itulah, buku ini berbicara sangat kompleks menyangkut seluk-beluk kehidupan dan perjuangan Sultan menuju gerbang istana negara. Arwan Tuti Artha, penulisnya, mengangkat persoalan ke-Sultan-an lewat perspektif budaya Jawa (baca: Kejawen), semacam ''ilmu batin''. Perspektif model ini, tampaknya sangat baik dan bagus untuk mengetahui tujuan yang sebenarnya dari apa yang dilakukan Sultan dalam tindak-laku perbuatan maupun ucapannya. Hal itu jelas jauh berbeda manakala strategi analisis yang digunakan dengan pendekatan akademis yang cenderung kaku dan kering dari realitas yang senyatanya.
Arwan tiada henti selalu mengingatkan bahwa segala tindak-tanduk dan ucapan Sultan adalah cerminan kawula (rakyat) untuk gusti (raja). Seorang raja, karena menjadi pusat kekuasaan, maka rakyat hanya akan mendengar apa yang disabdakan, baik itu perintah, larangan atau pernyataan. Oleh sebab itu, di kerajaan Jawa tak ada hukum, kecuali kata-kata keramat raja yang dikenal sebagai sabda pandhita ratu. Apa yang sudah diucapkan seorang raja merupakan keputusan final yang tidak bisa ditarik kembali. Keputusan final seorang raja itu ora wolak-walik sepisan mungkasi. Artinya, sekali tidak perlu diulangi karena sudah melalui pertimbangan panjang, cermat dengan penuh kesabaran (hlm. 81).
Apalagi, apa yang dikatakan seorang raja itu ibarat sabda, memiliki kekuatan magis dan kekuatan mistis. Artinya, kata-kata seorang raja bukan semata-mata milik raja saja, melainkan kata-kata yang sudah disempurnakan dengan kekuatan kosmik dan sudah meresap ke dalam perasaan dan pikiran raja bersangkutan. Boleh jadi, apa yang bakal terjadi nanti, sebenarnya telah diperhitungkan matang-matang oleh Sultan.
Lantas, apakah ada jaminan Sultan benar-benar bisa menjadi presiden RI berikutnya? Apakah ia akan dicalonkan dari partai besar yang sampai saat ini masih menaunginya? Buku ini tidak berbicara kemungkinan-kemungkinan politis itu. Yang amat ditekankan dalam buku setebal 174 ini adalah niat tulus Sultan untuk memperbaiki bangsa. Keputusan itu bukan merupakan manuver politik, tetapi sesuai dengan panggilan hati dan jiwanya. Sultan tidak akan main-main dengan ucapannya, bahkan dalam mengurus negeri ini. Itulah yang dia ucapkan, ''Sekali lagi saya ingin mengabdi, bukan merecoki negeri" (hlm. 111).
Tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi niat Sultan untuk maju sebagai capres. Ini adalah konsekuensi logis dari sabda pandhita ratu. Tidak heran Sultan terlihat ''menghindar'' ketika ada kabar bahwa dirinya akan dilamar menjadi cawapres mendampingi capres Megawati yang diusung PDI Perjuangan baru-baru ini. Sultan masih memegang teguh sabda pandhita ratu itu, sebagai capres bukan cawapres. Tapi entah di kemudian hari...
Sultan percaya bahwa dirinya saat ini sedang ditunggu-tunggu masyarakat luas, terutama masyarakat Jawa untuk memimpin bangsa ini. Sebab, dalam tradisi Jawa, untuk mewujudkan bangsa yang sejahtera, diyakini ada satria pinilih yang tampil. Dialah orang yang sebelum waktunya keluar masih disimpan atau dipingit. Orang Jawa selalu berharap hadirnya satria piningit untuk memegang tampuk pimpinan. Mungkinkah? Kita lihat saja nanti. Sebentar lagi. (*)
*) Lailiyatis Sa'adah, guru PAUD di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, dan pengelola Taman Baca AIDA di Jember
Judul Buku : Laku Spiritual Sultan: Langkah Raja Jawa Menuju Istana
Penulis : Arwan Tuti Artha
Penerbit : Galangpress, Jogjakarta
Cetakan : I, Januari 2009
Tebal : 174 halaman
[JP Online, Minggu, 15 Februari 2009]
Pidato-Pidato Inspirasi Dunia
'' ... Saya mendambakan demokrasi dan masyarakat bebas di mana semua orang bisa hidup bersama dalam harmoni dan kesempatan yang sama.''
---
Itulah cuplikan pidato Nelson Mandela yang amat inspiratif sebagai pemimpin besar bangsa kulit hitam pengubah sejarah Afrika. Pidato Mandela itu dikumandangkan di Johannesburg pada 2 Mei 1994. Isi pidato tersebut memberi semangat dan dorongan moral bagi rakyat kulit hitam Afrika Selatan yang beberapa saat kemudian terbebas dari politik Apartheid. Politik Apartheid adalah politik yang membeda-bedakan orang kulit hitam dan orang kulit putih. Kala itu masih banyak negara di Afrika yang dijajah negara lain.
Mandela adalah pemimpin Afrika Selatan yang amat gigih menentang politik rasialis itu. Ia rela dipenjara rezim kulit putih selama 27 tahun sebelum kemudian bebas dan terpilih menjadi presiden kulit hitam pertama di negaranya.
Selain Mandela, masih banyak tokoh dunia yang mempunyai pidato yang dapat memberi inspirasi. Bahkan pidato-pidato Soekarno, Bung Tomo, dan Jenderal Soedirman dinilai pidato-pidato yang sangat hebat.
Di buku ini, selain isi pidato yang ditonjolkan, riwayat hidup singkat para pemimpin hebat tersebut juga disertakan. Tokoh lain yang dijadikan contoh, di antaranya, Adolf Hitler, Martin Luther King Jr , Franklin D. Roosevelt, George W. Bush, bahkan Nabi Musa dan Nabi Muhammad SAW juga ditulis khutbahnya. Tahun dan bulan pidato tersebut tidak lupa dicantumkan, sehingga pembaca bisa mengetahui kapan pidato tersebut dilakukan.
Yang perlu dicatat dari isi pidato tokoh-tokoh besar yang dihimpun dalam buku ini, sebagian besar menyangkut perjuangan untuk merdeka. Juga perjuangan antidiskriminasi.
Menurut saya, buku setebal 245 halaman ini sangat menarik. Sebab isinya penuh inspirasi dari pidato-pidato yang diucapkan tokoh-tokoh berpengaruh dari berbagai penjuru dunia.
Tetapi, dari semua pidato yang ditulis di buku ini, menurut saya, pidato terbaik diucapkan Martin Luther King Jr. Pidato itu disampaikan di Memphis, Tennessee, pada 3 April 1968. Isinya: ''Saya sudah melihat tanah yang dijanjikan. Saya mungkin tidak berada di sana bersama Anda. Tetapi saya ingin Anda mengetahui malam ini bahwa kita, sebagai suatu kaum, akan memperoleh tanah yang dijanjikan. Dan saya gembira malam ini. Saya tidak lagi risau tentang apa pun. Saya tidak takut kepada siapa pun. Mata saya sudah melihat kebesaran datangnya Tuhan.''
Pidato Martin Luther King Jr itu amat fenomenal karena menginspirasi dan mempengaruhi dunia untuk memerangi diskriminasi, terutama dalam politik perbedaan warna kulit di Amerika Serikat. Pidato Luther King Jr itu yang sangat mungkin menginspirasi perjuangan Barack Obama saat menapaki tangga menuju kursi presiden AS. Obama akhirnya terpilih menjadi presiden kulit hitam pertama di negara adikuasa itu.
Selain Martin Luther king Jr, pidato John F. Kennedy juga penuh inspirasi. Pidato tersebut antara lain berbunyi: ''Oleh sebab itu, para warga Amerika sekalian, jangan tanya apa yang bisa dilakukan negaramu untukmu; tanyalah apa yang bisa kau lakukan untuk negaramu. Kepada para warga dunia, jangan tanya apa yang bisa diperbuat Amerika untuk Anda, tapi apa yang bisa kita kerjakan bersama demi kebebasan manusia.''
Buku ini juga menarik karena dilengkapi riwayat hidup para tokoh pengubah dunia tersebut. Tetapi, menurut saya, ada sedikit kelemahannya. Yaitu sedikitnya gambar yang dimasukkan di dalam buku ini sebagai bukti pidato tersebut, sehingga pembaca bisa cepat bosan karena tulisannya lebih mendominasi. Padahal buku ini ukurannya lebih lebar dari ukuran kebanyakan. Ketika saya membelinya, saya kira buku ini dilengkapi gambar-gambar ilustrasi yang seharusnya bisa membuat buku ini jadi lebih baik.(*)
*) REZA AKBAR F., siswa Sekolah Ciputra Surabaya, peminat buku biografi tokoh dunia
Judul Buku : Pidato-pidato yang Mengubah Dunia
Editor : Daniel P. Purba SSos dan Yati Sumiarti SE
Penerbit : Esensi Jakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : 245 halaman
ParaDIsE.group Indonesia
Resensi Buku
00.24
0 Responses to "Sabda Pandhita Ratu"
Posting Komentar