Bergenit-Genit Dengan Hukum Rokok
Oleh Shodiqiel Hafily
08 Juli 2008
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk melegalkan rokok di lembaga pendidikan tempat saya beraktifitas. Saya hanya bermaksud membuka ruang pemikiran secara objektif dan proporsional tentang status hukum rokok agar tumbuh saling menghargai dan tidak saling ledek diantara perokok dan bukan perokok. Saya prihatin (kalau terlalu melo dibilang kasihan) kepada orang-orang yang, mentang-mentang sudah berhenti merokok atau memang dari awal tidak merokok, serta merta berkoar-koar tentang keharaman rokok, bid'ah dan sunnah seperti pezuhud kesiangan. Utamanya kepada yang dulu-dulunya ngebes rokok.
Mengapa? Karuan yang sejak awal memang tidak mengkonsumsi rokok sama sekali, mungkin memang sejak dari awal "meyakini" tentang keharaman rokok. Salut, dua jempol untuk mereka. Tapi bagi yang dulu-dulunya rokoknya ngebes, itu mengesankan seolah baru kemarin sore tahu tentang status hukum rokok.
7 Kitab Tentang Rokok
Tidak tanggung-tanggung, 7 kitab klasik (lawas-kuning, baca "Sab'u Kutub Mifidat") secara khusus mengedepankan pembahasan tentang status hukum rokok. Tidak ada nash yang tegas dan teruji validitas postulasinya tentang halal-haramnya kecuali "dipaksakan" untuk diarahkan kepada hukum yang diyakini sebagai klimaks ijtihad.
Perselisihan pendapat tentang status hukum rokok itu melibatkan ulama-ulama terkemuka pada jamannya, bukan ulama-ulama kelas teri atau ulama baru kemarin sore. Pembahasan itu tidak pernah melahirkan ijma' (konsensus-kesepakatan) final tentang hukum rokok. Tetap saja, sebagian kecil menyatakan haram, sebagian kecil yang lain menyatakan halal dan sebagian besar menyatakan MAKRUH sebagai produk jalan tengah antara halal-haram.
Hal Larangan Merokok
Segala hukum makruh pasti memiliki dampak negative, terlebih sesuatu yang mengandung zat adiktif seperti rokok, kopi, pete (jengkol) bahkan dalam ngemil pun ada pemborosan. Itulah mengapa di instansi-intansi, lembaga pendidikan atau areal tertentu dilarang merokok, disamping menghindari gangguan penularan rokok secara pasif, bau dll juga bahaya kebakaran. Terlebih lagi bagi anak usia sekolah yang belum bisa memenuhi kebutuhan sendiri memang sebaiknya diantisipasi sedari dini walau di beberapa pesantren ada yang sama sekali tidak melarang santri merokok.
Tapi haruskah orang berlebihan mencerca para perokok yang dapat dan mampu menempatkan diri dari bahaya dan gangguan kepada orang lain? Saya lebih suka membiarkan. Biar Tuhan yang 'memaksanya' berhenti sendiri, karena bagi sebagian orang, merokok – dirasa - mendatangkan manfaat.
Saya seorang perokok dan pernah berkeinginan kuat untuk berhenti dari merokok. Keinginan kuat itu saya buktikan dengan ikrar-janji di bawah sumpah. Tapi saya tidak berhasil, hari-hari tidak merokok itu saya jalani dengan perasaan yang lesu, bingung dsc. Mengapa saya berniat berhenti? Karena saya tahu betul dampak buruknya. Berhubung gagal, maka saya harus temukan cara mengatasi bahaya dan dampak-dampak buruknya, telanjur ketagihan.
Merokok VS makan-MADAT
Rokok adalah kebiasaan kurang bagus sebagaimana kebiasaan-kebiasaan kurang bagus lainnya. Sebagian pengecam perokok ada yang kelewat menilai hingga ke sopan santun karena disamakan dengan makan sambil jalan. Banyak bangsa maju dengan etos kerja yang tinggi, makan sambil bekerja karena tak ingin menunda-nunda waktu untuk sekedar "sopan-santun" makan dulu lalu merokok yang – rentang waktu itu – menghabiskan tak kurang dari setengah jam waktu terbuang.
Bawang, jengkol (karena baunya), rokok dan candu adalah diantara yang makruh dikonsumsi. Rokok menempati posisi kedua setelah candu (madat) ditilik dari dampak buruknya. Makanya ada hari anti madat sedunia, dan bukan hari bebas rokok.
Jangan Permainkan Hukum
Pada jaman penjajahan, muktamar NU pernah mengharamkan tasyabuh dengan budaya asing (Belanda). Diharamkanlah mengenakan celana, topi, dasi dsb. Kini hukum itu luntur dengan sendirinya, tinggal tulisan tanpa pengamalan. Masih mending pengharaman itu demi nasionalisme dan perjuangan melawan penjajah. Walau, bagi saya, tetap saja hal itu mengesankan seolah hukum itu bisa diterapkam sesuai selera (subjektif). Akibat buruknya dapat memunculkan perang hukum karena hukum bisa dibuat sendiri.
Maka seyogyanya tidak bergenit-genit dengan hukum rokok agar tidak terjadi preseden buruk seolah wahyu sebagai landasan hukum dan Nabi sebagai pengejawantah hukum Tuhan itu demikian mudah dilangkah-langkahi sekehendak hati. Saat ini, masih banyak koq kiai top yang menjadi perokok. Masak sih mereka lebih bodoh dari kita?
Saya berpendapat, status hukum apapun harus diungkap secara jujur, transparan dan objektif. Terlebih lagi, kini adalah eranya masyarakat pintar tidak hanya oleh pengajian sema'an ala kuno, akan tetapi kemajuan teknologi informasi telah membentuk masyarakat kritis oleh pelbagai media yang dapat diakses secara mudah dan murah. Hukum halal-haram tidak lagi menjadi monopoli "penguasa" kitab kuning.[]
Sementara itu..
[JP Online, Senin, 26 Januari 2009]
Haram, Merokok bagi Anak-Anak, Ibu Hamil dan Remaja
Fatwa Majelis Ulama
PADANG PANJANG - Forum Ijtimak Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III memutuskan bahwa rokok haram untuk anak-anak, remaja, dan wanita hamil. Rokok juga diharamkan diisap di tempat umum.
Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Ali Mustafa Ya'qub menjelaskan, ijtimak ulama sebetulnya memutuskan merokok hukumnya ''dilarang'', yakni antara haram dan makruh. ''Tetapi, dikhususkan haram hukumnya merokok untuk ibu-ibu hamil, anak-anak, di tempat umum, dan pengurus MUI,'' katanya di aula Perguruan Dinniah Putri, Jalan Abdul Hamid Hakim, Padang Panjang, Sumatera Barat (Sumbar), kemarin (25/1).
Ketua Komisi Fatwa MUI Sumatera Barat Gusrizal Gazahar menambahkan, ulama sepakat bahwa merokok tidak bisa dihukum mubah atau boleh. Tetapi, tingkat pelanggaran hukumnya berbeda-beda. Ada yang makruh dan ada yang haram. ''Kami sepakat, rokok hukumnya tidak mubah. Tetapi, kesepakatan hukum pelanggarannya berbeda. Merokok dianggap haram bila merokok di tempat umum, merokok bagi anak-anak, merokok bagi wanita hamil, dan merokok juga diharamkan untuk pengurus Majelis Ulama Indonesia,'' katanya. Aturan bagi ulamanya itu dimaksudkan agar bisa menjadi teladan bagi umat untuk berangsur-angsur meninggalkan rokok.
Pimpinan Ijtimak Forum Komisi Fatwa Prof Dr HM. Amin Suma MA mengatakan, terkait putusan hukum merokok dilarang antara haram dan makruh itu, perlu perangkat hukum yang mengaturnya. MUI akan mengomunikasin kepada pemerintah. ''Yang berhak melakukan eksekusi sebagai realisasi sanksi jelas kewenangan pemerintah, bukan masyarakat. Itu pun jika sudah ada payung hukumnya,'' katanya.
Prof Nurhayati Hakim, Dewan Penasihat MUI Sumbar, menyatakan bahwa keputusan itu sudah memadai dan tidak ada masalah. ''Paling tidak, fatwa MUI tersebut sudah ada batasan sehingga masyarakat tidak bisa bebas merokok lagi,'' katanya.
Meskipun sudah disepakati secara bulat, ada ulama yang menyatakan kekecewaannya. Wakil Ketua Dewan Fatwa Matla'ul Anwar Pusat Teuku Zulkarnain menilai sikap MUI yang tidak berani mengeluarkan fatwa ''merokok hukumnya haram'' suatu sikap yang menyedihkan sehingga keputusan forum ijtimak MUI itu diyakini pelaksanaannya tidak akan optimal. ''Padahal, kalangan ulama dunia dalam konfrensi umat Islam sedunia di Brunei telah memutuskan merokok itu haram. Dan, Malaysia sudah lama memutuskan haram,'' katanya di sela sidang pleno.
Teuku Zulkarnain pada kesempatan itu meminta pemerintah mencarikan jalan keluar bagi orang-orang yang saat ini masih menggantungkan hidup dari rokok. ''Sepuluh tahun lagi pemerintah akan menghadapi kenyataan seluruh dunia membenci rokok. Dan, itu tidak bisa ditawar-tawar lagi,'' ujarnya.
Amin Suma menambahkan, hukum merokok dapat kembali lagi dibahas dalam Ijtima Komisi Fatwa MUI IV yang bakal digelar dua tahun lagi. ''Bergantung kepada pertanyaan dari peminat fatwa kepada MUI, maka pembahasan dengan topik yang sama,'' katanya.
''Tidak ada fatwa yang abadi. Namun, fatwa itu bisa berubah. Toh, UUD 1945 saja bisa diamandemen,'' lanjutnya.
Ijtimak ulama kemarin juga memutuskan beberapa fatwa lain seperti soal yoga. Yoga dianggap haram bagi umat muslim jika dalam pelaksanaannya menggunakan ritual agama tertentu. Namun, untuk senam yang mirip gerakan yoga dan murni untuk olahraga dan kesehatan, hukumnya mubah.
Kemudian, soal vasektomi atau teknik kontrasepsi pria dengan pemotongan saluran sperma. ''Vasektomi dinyatakan haram karena berdasar rekomendasi dari kedokteran tidak ada jaminan pria yang melakukan vasektomi bisa disuburkan kembali,'' kata Gusrizal.
MUI kemarin juga mengeluarkan terhadap golongan putih atau masyarakat yang tidak memilih dalam pemilihan umum. Mengenai masalah itu majelis menyatakan golongan putih hukumnya haram jika ada pimpinan memenuhi syarat dalam pemilihan . Sebaliknya, bila ada seseorang yang tepat untuk menjadi pimpinan tetapi pemilih memutuskan tidak memilih hukumnya juga haram. "Dalam Islam memilih pimpinan itu wajib asal pimpinan yang dipilih itu memenuhi persyaratan," kata Gusrizal. (rdo/geb/jpnn/kim)
=====
NU Anggap Fatwa Haram Rokok dan Golput Kelewatan
[JP Online, Selasa, 27 Januari 2009 ]
JAKARTA - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) tidak sependapat dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan rokok bagi orang-orang dengan kriteria tertentu. PB NU berketetapan merokok hanya diberi fatwa makruh (dianjurkan untuk dihindari).
''Kalau di NU, dari dulu sampai sekarang, (merokok) itu hukumnya makruh, tidak sampai haram,'' ujar Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi setelah mendampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla membuka Rapimnas Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama Pagar Nusa di Taman Mini Indonesia Indah kemarin (26/1).
Menurut Hasyim, NU menganggap terdapat relativitas dampak rokok terhadap kesehatan sehingga tidak bisa langsung dinyatakan haram seperti minuman keras atau daging babi. ''Bahayanya (rokok) itu relatif, tidak signifikan seperti minuman keras. Orang yang merokok juga punya relativitas. Ada yang kalau merokok, pikirannya jadi terang. Tapi kalau orang sakit TBC yang merokok, bisa langsung game,'' ujarnya.
Karena tidak hadir dalam pertemuan Komisi Fatwa MUI di Padang, Hasyim tidak mengetahui dasar pemikiran putusan fatwa tersebut. Namun, dia melihat tidak ada pembatasan usia bagi remaja atau anak-anak untuk merokok. ''Fatwa MUI ini kan tidak ada (batasan) tahunnya, sampai umur berapa disebut anak-anak atau remaja. Itu kan repot,'' katanya.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Kesejahteraan Rakyat Azyumardi Azra menilai tidak ada hal baru dalam fatwa MUI. Mantan rektor Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah itu menilai fatwa merokok tersebut kompromistis karena tidak berlaku untuk semua kalangan.
Bahwa merokok harus pada tempatnya, tidak boleh di depan publik, tidak boleh anak-anak merokok, tidak boleh wanita hamil merokok, menurut dia, itu sudah ada aturannya. Bahkan, Pemprov DKI Jakarta sudah mengatur pakai perda walau tidak berjalan.
Fatwa Golput
Hasyim juga merespons fatwa MUI yang mengharamkan golongan putih (golput), yakni masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu. Menurut Hasyim, PBNU justru membebaskan penggunaan hak pilih umat Islam. Menurut dia, setiap warga negara berhak menentukan pilihan tanpa harus dibatasi fatwa. "Golongan putih itu sendiri-sendiri seleranya. Kami nggak bisa nyalahin," katanya.
Meskipun menolak fatwa haram golput, Hasyim menegaskan, NU juga tidak sepakat bila ada anjuran tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu mendatang. Sebelumnya, Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa, Abdurrahman Wahid, menyerukan golongan putih dalam pemilu mendatang.
Hasyim menilai ajakan untuk tidak menggunakan hak pilih adalah tindakan destruktif. "Kalau sudah gerakan meniadakan proses pemilu, saya kira itu tidak benar. Tapi juga ndak usah ditarik ke haram, itu sudah tidak benar," ujarnya.
Senada dengan Hasyim Muzadi, Ketua Muhammadiyah Din Syamsuddin menyatakan, seperti rokok, soal tidak memilih dalam pemilihan umum, tidak bisa dibuat fatwa halal atau haram.
Ia mengatakan golput alias tidak ikut pemilihan umum, merupakan pilihan seseorang. Kalau merasa tidak cocok, wajar saja dia tidak memilih. "Begitu juga soal rokok, menurut saya tidak bisa difatwakan halal atau haram sebab akan ada konsekuensi hukumnya," katanya.
Penolakan fatwa MUI juga datang dari daerahm salah satunya dating dari Kudus, kabupaten di Jawa Tengah yang menjadi salah satu sentra produksi rokok di Indonesia. "Kami menolak rokok difatwakan haram oleh MUI. Masalahnya sangat komplek, sehingga dampaknya akan sangat mengkhawatirkan" ujar Ketua DPRD Kudus, Asyrofi Masitho kemarin.
Saat ini di Kudus terdapat 15 pabrik rokok yang tergabung dalam, dengan 95 ribu karyawan dan FPRK, serta tak kurang dari 120 ribu orang pekerja. "Sehingga, bila fatwa itu dikelaurkan, maka tidak saja membuat industri rokok gulung tikar tetapi juga berdampak pada nasib karyawan," tambahnya.
Pesimisme juga dating dari kalangan akademis yang selama ini mendukung gerakan antirokok. Peneliti Lembaga Demografi Universitas Indonesia Abdillah Ahsan menilai fatwa haram rokok dengan empat kriteria yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia hanya berdampak kecil terhadap pengurangan konsomsi rokok. "Kecuali ada larangan untuk lelaki dewasa, itu dampaknya besar," jelasnya. Lelaki perokok dewasa diperkirakannya berjumlah sekitar 80 persen dari total konsumsi. Selain itu orang bisa saja merokok lebih banyak di rumah daripada di tempat umum. Akibatnya konsumsi rokok tetap tinggi.
Adapun sasaran ibu hamil, lanjutnya, tidak signifikan karena perokok wanita dewasa saja hanya 4 persen. "Yang hamil lebih sedikit lagi." Begitu pula anak-anak. Anak-anak, karena tidak punya pendapatan, maka konsumsi rokoknya tidak mempengaruhi pendapatan industri rokok.
Namun, fatwa Majelis tersebut diakuinya bagus untuk mencegah anak mencoba merokok. "Bisa jadi landasan orang tua untuk melarang anaknya," tambahnya," Dengan catatan semuanya dipatuhi."
Ia melihat banyak fatwa yang dikeluarkan majelis dianggap sebelah mata oleh masyarakat seperti bunga bank, menonton acara hiburan. Akibatnya fatwa jadi sia-sia. Namun, paling tidak diakuinya Majelis sudah peduli pada kesehatan masyarakat.(noe/el)
---------------
Catatan:
Entry fatwa MUI dan Komentar KH Hasyim Muzadi ditambahkan pada 27 Januari 2009. Sumber: JawaPos.co.id.
Salam Persahabatan
ParaDIsE.group
Oleh Shodiqiel Hafily
08 Juli 2008
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk melegalkan rokok di lembaga pendidikan tempat saya beraktifitas. Saya hanya bermaksud membuka ruang pemikiran secara objektif dan proporsional tentang status hukum rokok agar tumbuh saling menghargai dan tidak saling ledek diantara perokok dan bukan perokok. Saya prihatin (kalau terlalu melo dibilang kasihan) kepada orang-orang yang, mentang-mentang sudah berhenti merokok atau memang dari awal tidak merokok, serta merta berkoar-koar tentang keharaman rokok, bid'ah dan sunnah seperti pezuhud kesiangan. Utamanya kepada yang dulu-dulunya ngebes rokok.
Mengapa? Karuan yang sejak awal memang tidak mengkonsumsi rokok sama sekali, mungkin memang sejak dari awal "meyakini" tentang keharaman rokok. Salut, dua jempol untuk mereka. Tapi bagi yang dulu-dulunya rokoknya ngebes, itu mengesankan seolah baru kemarin sore tahu tentang status hukum rokok.
7 Kitab Tentang Rokok
Tidak tanggung-tanggung, 7 kitab klasik (lawas-kuning, baca "Sab'u Kutub Mifidat") secara khusus mengedepankan pembahasan tentang status hukum rokok. Tidak ada nash yang tegas dan teruji validitas postulasinya tentang halal-haramnya kecuali "dipaksakan" untuk diarahkan kepada hukum yang diyakini sebagai klimaks ijtihad.
Perselisihan pendapat tentang status hukum rokok itu melibatkan ulama-ulama terkemuka pada jamannya, bukan ulama-ulama kelas teri atau ulama baru kemarin sore. Pembahasan itu tidak pernah melahirkan ijma' (konsensus-kesepakatan) final tentang hukum rokok. Tetap saja, sebagian kecil menyatakan haram, sebagian kecil yang lain menyatakan halal dan sebagian besar menyatakan MAKRUH sebagai produk jalan tengah antara halal-haram.
Hal Larangan Merokok
Segala hukum makruh pasti memiliki dampak negative, terlebih sesuatu yang mengandung zat adiktif seperti rokok, kopi, pete (jengkol) bahkan dalam ngemil pun ada pemborosan. Itulah mengapa di instansi-intansi, lembaga pendidikan atau areal tertentu dilarang merokok, disamping menghindari gangguan penularan rokok secara pasif, bau dll juga bahaya kebakaran. Terlebih lagi bagi anak usia sekolah yang belum bisa memenuhi kebutuhan sendiri memang sebaiknya diantisipasi sedari dini walau di beberapa pesantren ada yang sama sekali tidak melarang santri merokok.
Tapi haruskah orang berlebihan mencerca para perokok yang dapat dan mampu menempatkan diri dari bahaya dan gangguan kepada orang lain? Saya lebih suka membiarkan. Biar Tuhan yang 'memaksanya' berhenti sendiri, karena bagi sebagian orang, merokok – dirasa - mendatangkan manfaat.
Saya seorang perokok dan pernah berkeinginan kuat untuk berhenti dari merokok. Keinginan kuat itu saya buktikan dengan ikrar-janji di bawah sumpah. Tapi saya tidak berhasil, hari-hari tidak merokok itu saya jalani dengan perasaan yang lesu, bingung dsc. Mengapa saya berniat berhenti? Karena saya tahu betul dampak buruknya. Berhubung gagal, maka saya harus temukan cara mengatasi bahaya dan dampak-dampak buruknya, telanjur ketagihan.
Merokok VS makan-MADAT
Rokok adalah kebiasaan kurang bagus sebagaimana kebiasaan-kebiasaan kurang bagus lainnya. Sebagian pengecam perokok ada yang kelewat menilai hingga ke sopan santun karena disamakan dengan makan sambil jalan. Banyak bangsa maju dengan etos kerja yang tinggi, makan sambil bekerja karena tak ingin menunda-nunda waktu untuk sekedar "sopan-santun" makan dulu lalu merokok yang – rentang waktu itu – menghabiskan tak kurang dari setengah jam waktu terbuang.
Bawang, jengkol (karena baunya), rokok dan candu adalah diantara yang makruh dikonsumsi. Rokok menempati posisi kedua setelah candu (madat) ditilik dari dampak buruknya. Makanya ada hari anti madat sedunia, dan bukan hari bebas rokok.
Jangan Permainkan Hukum
Pada jaman penjajahan, muktamar NU pernah mengharamkan tasyabuh dengan budaya asing (Belanda). Diharamkanlah mengenakan celana, topi, dasi dsb. Kini hukum itu luntur dengan sendirinya, tinggal tulisan tanpa pengamalan. Masih mending pengharaman itu demi nasionalisme dan perjuangan melawan penjajah. Walau, bagi saya, tetap saja hal itu mengesankan seolah hukum itu bisa diterapkam sesuai selera (subjektif). Akibat buruknya dapat memunculkan perang hukum karena hukum bisa dibuat sendiri.
Maka seyogyanya tidak bergenit-genit dengan hukum rokok agar tidak terjadi preseden buruk seolah wahyu sebagai landasan hukum dan Nabi sebagai pengejawantah hukum Tuhan itu demikian mudah dilangkah-langkahi sekehendak hati. Saat ini, masih banyak koq kiai top yang menjadi perokok. Masak sih mereka lebih bodoh dari kita?
Saya berpendapat, status hukum apapun harus diungkap secara jujur, transparan dan objektif. Terlebih lagi, kini adalah eranya masyarakat pintar tidak hanya oleh pengajian sema'an ala kuno, akan tetapi kemajuan teknologi informasi telah membentuk masyarakat kritis oleh pelbagai media yang dapat diakses secara mudah dan murah. Hukum halal-haram tidak lagi menjadi monopoli "penguasa" kitab kuning.[]
[JP Online, Senin, 26 Januari 2009]
Haram, Merokok bagi Anak-Anak, Ibu Hamil dan Remaja
Fatwa Majelis Ulama
PADANG PANJANG - Forum Ijtimak Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III memutuskan bahwa rokok haram untuk anak-anak, remaja, dan wanita hamil. Rokok juga diharamkan diisap di tempat umum.
Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Ali Mustafa Ya'qub menjelaskan, ijtimak ulama sebetulnya memutuskan merokok hukumnya ''dilarang'', yakni antara haram dan makruh. ''Tetapi, dikhususkan haram hukumnya merokok untuk ibu-ibu hamil, anak-anak, di tempat umum, dan pengurus MUI,'' katanya di aula Perguruan Dinniah Putri, Jalan Abdul Hamid Hakim, Padang Panjang, Sumatera Barat (Sumbar), kemarin (25/1).
Ketua Komisi Fatwa MUI Sumatera Barat Gusrizal Gazahar menambahkan, ulama sepakat bahwa merokok tidak bisa dihukum mubah atau boleh. Tetapi, tingkat pelanggaran hukumnya berbeda-beda. Ada yang makruh dan ada yang haram. ''Kami sepakat, rokok hukumnya tidak mubah. Tetapi, kesepakatan hukum pelanggarannya berbeda. Merokok dianggap haram bila merokok di tempat umum, merokok bagi anak-anak, merokok bagi wanita hamil, dan merokok juga diharamkan untuk pengurus Majelis Ulama Indonesia,'' katanya. Aturan bagi ulamanya itu dimaksudkan agar bisa menjadi teladan bagi umat untuk berangsur-angsur meninggalkan rokok.
Pimpinan Ijtimak Forum Komisi Fatwa Prof Dr HM. Amin Suma MA mengatakan, terkait putusan hukum merokok dilarang antara haram dan makruh itu, perlu perangkat hukum yang mengaturnya. MUI akan mengomunikasin kepada pemerintah. ''Yang berhak melakukan eksekusi sebagai realisasi sanksi jelas kewenangan pemerintah, bukan masyarakat. Itu pun jika sudah ada payung hukumnya,'' katanya.
Prof Nurhayati Hakim, Dewan Penasihat MUI Sumbar, menyatakan bahwa keputusan itu sudah memadai dan tidak ada masalah. ''Paling tidak, fatwa MUI tersebut sudah ada batasan sehingga masyarakat tidak bisa bebas merokok lagi,'' katanya.
Meskipun sudah disepakati secara bulat, ada ulama yang menyatakan kekecewaannya. Wakil Ketua Dewan Fatwa Matla'ul Anwar Pusat Teuku Zulkarnain menilai sikap MUI yang tidak berani mengeluarkan fatwa ''merokok hukumnya haram'' suatu sikap yang menyedihkan sehingga keputusan forum ijtimak MUI itu diyakini pelaksanaannya tidak akan optimal. ''Padahal, kalangan ulama dunia dalam konfrensi umat Islam sedunia di Brunei telah memutuskan merokok itu haram. Dan, Malaysia sudah lama memutuskan haram,'' katanya di sela sidang pleno.
Teuku Zulkarnain pada kesempatan itu meminta pemerintah mencarikan jalan keluar bagi orang-orang yang saat ini masih menggantungkan hidup dari rokok. ''Sepuluh tahun lagi pemerintah akan menghadapi kenyataan seluruh dunia membenci rokok. Dan, itu tidak bisa ditawar-tawar lagi,'' ujarnya.
Amin Suma menambahkan, hukum merokok dapat kembali lagi dibahas dalam Ijtima Komisi Fatwa MUI IV yang bakal digelar dua tahun lagi. ''Bergantung kepada pertanyaan dari peminat fatwa kepada MUI, maka pembahasan dengan topik yang sama,'' katanya.
''Tidak ada fatwa yang abadi. Namun, fatwa itu bisa berubah. Toh, UUD 1945 saja bisa diamandemen,'' lanjutnya.
Ijtimak ulama kemarin juga memutuskan beberapa fatwa lain seperti soal yoga. Yoga dianggap haram bagi umat muslim jika dalam pelaksanaannya menggunakan ritual agama tertentu. Namun, untuk senam yang mirip gerakan yoga dan murni untuk olahraga dan kesehatan, hukumnya mubah.
Kemudian, soal vasektomi atau teknik kontrasepsi pria dengan pemotongan saluran sperma. ''Vasektomi dinyatakan haram karena berdasar rekomendasi dari kedokteran tidak ada jaminan pria yang melakukan vasektomi bisa disuburkan kembali,'' kata Gusrizal.
MUI kemarin juga mengeluarkan terhadap golongan putih atau masyarakat yang tidak memilih dalam pemilihan umum. Mengenai masalah itu majelis menyatakan golongan putih hukumnya haram jika ada pimpinan memenuhi syarat dalam pemilihan . Sebaliknya, bila ada seseorang yang tepat untuk menjadi pimpinan tetapi pemilih memutuskan tidak memilih hukumnya juga haram. "Dalam Islam memilih pimpinan itu wajib asal pimpinan yang dipilih itu memenuhi persyaratan," kata Gusrizal. (rdo/geb/jpnn/kim)
NU Anggap Fatwa Haram Rokok dan Golput Kelewatan
[JP Online, Selasa, 27 Januari 2009 ]
JAKARTA - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) tidak sependapat dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan rokok bagi orang-orang dengan kriteria tertentu. PB NU berketetapan merokok hanya diberi fatwa makruh (dianjurkan untuk dihindari).
''Kalau di NU, dari dulu sampai sekarang, (merokok) itu hukumnya makruh, tidak sampai haram,'' ujar Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi setelah mendampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla membuka Rapimnas Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama Pagar Nusa di Taman Mini Indonesia Indah kemarin (26/1).
Menurut Hasyim, NU menganggap terdapat relativitas dampak rokok terhadap kesehatan sehingga tidak bisa langsung dinyatakan haram seperti minuman keras atau daging babi. ''Bahayanya (rokok) itu relatif, tidak signifikan seperti minuman keras. Orang yang merokok juga punya relativitas. Ada yang kalau merokok, pikirannya jadi terang. Tapi kalau orang sakit TBC yang merokok, bisa langsung game,'' ujarnya.
Karena tidak hadir dalam pertemuan Komisi Fatwa MUI di Padang, Hasyim tidak mengetahui dasar pemikiran putusan fatwa tersebut. Namun, dia melihat tidak ada pembatasan usia bagi remaja atau anak-anak untuk merokok. ''Fatwa MUI ini kan tidak ada (batasan) tahunnya, sampai umur berapa disebut anak-anak atau remaja. Itu kan repot,'' katanya.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Kesejahteraan Rakyat Azyumardi Azra menilai tidak ada hal baru dalam fatwa MUI. Mantan rektor Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah itu menilai fatwa merokok tersebut kompromistis karena tidak berlaku untuk semua kalangan.
Bahwa merokok harus pada tempatnya, tidak boleh di depan publik, tidak boleh anak-anak merokok, tidak boleh wanita hamil merokok, menurut dia, itu sudah ada aturannya. Bahkan, Pemprov DKI Jakarta sudah mengatur pakai perda walau tidak berjalan.
Fatwa Golput
Hasyim juga merespons fatwa MUI yang mengharamkan golongan putih (golput), yakni masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu. Menurut Hasyim, PBNU justru membebaskan penggunaan hak pilih umat Islam. Menurut dia, setiap warga negara berhak menentukan pilihan tanpa harus dibatasi fatwa. "Golongan putih itu sendiri-sendiri seleranya. Kami nggak bisa nyalahin," katanya.
Meskipun menolak fatwa haram golput, Hasyim menegaskan, NU juga tidak sepakat bila ada anjuran tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu mendatang. Sebelumnya, Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa, Abdurrahman Wahid, menyerukan golongan putih dalam pemilu mendatang.
Hasyim menilai ajakan untuk tidak menggunakan hak pilih adalah tindakan destruktif. "Kalau sudah gerakan meniadakan proses pemilu, saya kira itu tidak benar. Tapi juga ndak usah ditarik ke haram, itu sudah tidak benar," ujarnya.
Senada dengan Hasyim Muzadi, Ketua Muhammadiyah Din Syamsuddin menyatakan, seperti rokok, soal tidak memilih dalam pemilihan umum, tidak bisa dibuat fatwa halal atau haram.
Ia mengatakan golput alias tidak ikut pemilihan umum, merupakan pilihan seseorang. Kalau merasa tidak cocok, wajar saja dia tidak memilih. "Begitu juga soal rokok, menurut saya tidak bisa difatwakan halal atau haram sebab akan ada konsekuensi hukumnya," katanya.
Penolakan fatwa MUI juga datang dari daerahm salah satunya dating dari Kudus, kabupaten di Jawa Tengah yang menjadi salah satu sentra produksi rokok di Indonesia. "Kami menolak rokok difatwakan haram oleh MUI. Masalahnya sangat komplek, sehingga dampaknya akan sangat mengkhawatirkan" ujar Ketua DPRD Kudus, Asyrofi Masitho kemarin.
Saat ini di Kudus terdapat 15 pabrik rokok yang tergabung dalam, dengan 95 ribu karyawan dan FPRK, serta tak kurang dari 120 ribu orang pekerja. "Sehingga, bila fatwa itu dikelaurkan, maka tidak saja membuat industri rokok gulung tikar tetapi juga berdampak pada nasib karyawan," tambahnya.
Pesimisme juga dating dari kalangan akademis yang selama ini mendukung gerakan antirokok. Peneliti Lembaga Demografi Universitas Indonesia Abdillah Ahsan menilai fatwa haram rokok dengan empat kriteria yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia hanya berdampak kecil terhadap pengurangan konsomsi rokok. "Kecuali ada larangan untuk lelaki dewasa, itu dampaknya besar," jelasnya. Lelaki perokok dewasa diperkirakannya berjumlah sekitar 80 persen dari total konsumsi. Selain itu orang bisa saja merokok lebih banyak di rumah daripada di tempat umum. Akibatnya konsumsi rokok tetap tinggi.
Adapun sasaran ibu hamil, lanjutnya, tidak signifikan karena perokok wanita dewasa saja hanya 4 persen. "Yang hamil lebih sedikit lagi." Begitu pula anak-anak. Anak-anak, karena tidak punya pendapatan, maka konsumsi rokoknya tidak mempengaruhi pendapatan industri rokok.
Namun, fatwa Majelis tersebut diakuinya bagus untuk mencegah anak mencoba merokok. "Bisa jadi landasan orang tua untuk melarang anaknya," tambahnya," Dengan catatan semuanya dipatuhi."
Ia melihat banyak fatwa yang dikeluarkan majelis dianggap sebelah mata oleh masyarakat seperti bunga bank, menonton acara hiburan. Akibatnya fatwa jadi sia-sia. Namun, paling tidak diakuinya Majelis sudah peduli pada kesehatan masyarakat.(noe/el)
---------------
Catatan:
Entry fatwa MUI dan Komentar KH Hasyim Muzadi ditambahkan pada 27 Januari 2009. Sumber: JawaPos.co.id.
ParaDIsE.group
Hari Anti Rokok,
Hukum Rokok,
Rokok
02.11
0 Responses to "Hukum Rokok"
Posting Komentar